Sebagai kawasan perairan, sebagian besar penduduk di sekitar kawasan cagar alam adalah nelayan yang menggantungkan hidupnya pada sumber daya perikanan. Oleh karena itu sumber daya perikanan menjadi andalan dalam pengembangan perekonomian di kawasan ini. Selain itu saat ini masyarakat sekitar kawasan memiliki profesi baru sebagai pengantar wisatawan yang akan menyeberang ke pulau Sempu dengan memberikan fasilitas perahu motor untuk menyeberang dan menjadi pemandu wisatawan yang akan masuk ke kawasan untuk melihat objek wisata andalan di cagar alam pulau sempu yaitu segara anakan, telaga lele atau pantai pasir kembar yang lokasinya jauh memasuki kawasan cagar alam sehingga potensi pengembangan ekowisata yang tepat adalah ekowisata berbasis masyarakat.
Sudah umum apabila pendapat masyarakat mengatakan pulau Sempu adalah tempat wisata, bukan sebagai cagar alam padahal "Pulau Sempu" karena kekhasan ekosistemnya dan keanekaragaman tumbuhan beserta gejala alam ditetapkan sebagai cagar alam. Dan sebenarnya, sebagai bagian dari zona inti dalam strata konservasi, kawasan tersebut tidak boleh mendapat pengaruh campur tangan manusia. Sangat ironis bila saat ini kita melihat kondisi Pulau sempu yang oleh masyarakat dikenal sebagai tempat wisata dan bukan dikenal dari sisi cagar alamnya. Berapa ratuskah wisatawan setiap minggunya menyeberang ke pulau Sempu yang artinya berapa ratuskah campur tangan manusia di di cagar alam pulau Sempu. Melihat relita seperti ini masih layakkah pulau Sempu di pertahankan sebagai cagar alam?.
Di sisi lain kunjungan dan minat wisatawan di kawasan cagar alam juga berkembang seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan tempat wisata alam baru yang menarik berakibat pada tekanan yang semakin besar terhadap sumber daya alam di cagar alam Pulau Sempu. Sebagian besar masyarakat sekitar cagar alam Pulau Sempu khususnya di Sendang biru adalah suku Jawa dan Madura. Mereka menetap hampir beratus ratus tahun secara turun temurun. Masih didapati sisa-sisa akar budaya asli yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Seperti dialek bahasa, adat istiadat perkawinan, konstruksi rumah adat dan sebagainya.
Sudah umum apabila pendapat masyarakat mengatakan pulau Sempu adalah tempat wisata, bukan sebagai cagar alam padahal "Pulau Sempu" karena kekhasan ekosistemnya dan keanekaragaman tumbuhan beserta gejala alam ditetapkan sebagai cagar alam. Dan sebenarnya, sebagai bagian dari zona inti dalam strata konservasi, kawasan tersebut tidak boleh mendapat pengaruh campur tangan manusia. Sangat ironis bila saat ini kita melihat kondisi Pulau sempu yang oleh masyarakat dikenal sebagai tempat wisata dan bukan dikenal dari sisi cagar alamnya. Berapa ratuskah wisatawan setiap minggunya menyeberang ke pulau Sempu yang artinya berapa ratuskah campur tangan manusia di di cagar alam pulau Sempu. Melihat relita seperti ini masih layakkah pulau Sempu di pertahankan sebagai cagar alam?.
Di sisi lain kunjungan dan minat wisatawan di kawasan cagar alam juga berkembang seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan tempat wisata alam baru yang menarik berakibat pada tekanan yang semakin besar terhadap sumber daya alam di cagar alam Pulau Sempu. Sebagian besar masyarakat sekitar cagar alam Pulau Sempu khususnya di Sendang biru adalah suku Jawa dan Madura. Mereka menetap hampir beratus ratus tahun secara turun temurun. Masih didapati sisa-sisa akar budaya asli yang diwarisi dari nenek moyang mereka. Seperti dialek bahasa, adat istiadat perkawinan, konstruksi rumah adat dan sebagainya.
Konsep ekowisata berbasis masyarakat dapat dijadikan solusi alternatif untuk memberdayakan masyarakat dari sisi sosial ekonomi dan lingkungan karena keterlibatan masyarakat setempat atau mereka yang bertempat tinggal di sekitar daerah tujuan wisata mempunyai peran yang amat penting dalam menunjang keberhasilan pembangunan pariwisata serta memelihara sumber daya alam dan budaya di daerahnya sehingga tujuan akhirnya adalah kelestarian alam dan kesejahteraan masyarakat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar